ERAU MENURUT MASYARAKAT SETEMPAT

Disusun oleh :
1. Adhistya Novitasari / 1713015130
2. Mardhatilla Ahmad / 1713015194

Sejak kecil saya sudah menetap di Kalimantan Timur dengan sejuta mitos yang terkandung didalamnya. Masyarakatnya pun kebanyakan mempercayai akan mitos tersebut, yang tidak jarang diakui kebenarannya. Percaya atau tidak itu adalah hak masing-masing individu, tidak ada yang memaksa ataupun merasa terpaksa oleh mitos yang telah ada bahkan orang tua dan para leluhur pun hampir semua mempercayai mitos lokal yang ada di Kalimantan.

Kala itu tanggal 29 September dan saya masih duduk di bangku Sekolah Dasar (SD), saya diajak keluarga untuk menonton “ERAU” di Tenggarong, Kutai Kartanegara. Sayapun berfikir “apasih Erau itu?” apakah acara adat atau hanya sekedar EXPO yang seperti biasanya. Ternyata Erau itu adalah sebuah tradisi budaya Indonesia yang dilaksanakan setiap tahun dengan pusat kotanya itu di Tenggarong, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Nah, Erau itu sendiri ternyata berasal dari bahasa kutai, eroh yang artinya ramai, riuh, ribut, suasana yang penuh sukacita. Akan tetapi suasana yang ramai, riuh rendah suara tersebut dalam arti, banyaknya kegiatan sekelompok orang yang mempunyai hajat dan mengandung makna baik bersifat sakral, ritual, maupun hiburan. 



Namun sekarang, Kebijakan Pemerintah Kabupaten Kutai untuk menjadikan Erau sebagai pesta budaya yakni dengan menetapkan waktu pelaksanaan Erau secara tetap pada bulan September berkaitan dengan hari jadi kota Tenggarong, ibukota Kabupaten Kutai Kartanegara dan Kesultanan Kutai Kartanegara.

Festival Erau yang kini telah masuk dalam calendar of events pariwisata nasional, tidak lagi dikaitkan dengan seni budaya Keraton Kutai Kartanegara tetapi lebih bervariasi dengan berbagai penampilan ragam seni dan budaya yang ada serta hidup dan berkembang di seluruh wilayah Kabupaten Kutai Kartanegara.

Ternyata Erau itu pertama kali dilaksanakan pada upacara tijak tanah dan mandi ke tepian ketika Aji Batara Agung Dewa Sakti berusia 5 tahun. Setelah dewasa dan diangkat menjadi Raja Kutai Kartanegara yang pertama, juga diadakan upacara Erau. Nah, sejak saat itulah Erau selalu diadakan setiap terjadi penggantian atau penobatan Raja-Raja Kutai Kartanegara.

Tetapi Erau ini seringkali dikaitkan dengan hal-hal yang negatif, contohnya saja salah satu rangkaian acara pada Erau yaitu Belimbur, pada saat belimbur warga setempat kerap kali menyiram orang-orang yang lewat di jalanan dan sebagian warga kadang merasa tidak nyaman akan hal itu, akibatnya terjadilah kerusuhan, dan lebih parahnya lagi pada pesta Erau beberapa tahun yang lalu, oknum warga bahkan memanfaatkan air comberan untuk menyiram warga yang melintas. Sangat tidak terpuji sekali tentunya.


Pada Hari ketujuh ini merupakan hari puncak dari kemeriahan Festival Erau. Pada hari ini, terdapat serangkaian ritual yang dimulai sejak pagi hingga sore hari. Salah satu ritual yang disakralkan pada hari ini adalah mengulur naga. Pada ritual ini, rombongan utusan Keraton Kutai mengarak sepasang replika naga menggunakan perahu untuk dilepaskan di Kutai Lama, tempat asal muasal legenda sang naga tersebut.

Upacara mengulur naga memang tidak dapat dilepaskan dari riwayat legenda tentang Putri Karang Melenu, permaisuri dari raja pertama Kutai, Aji Batara Agung Dewa Sakti. Kedua pasangan yang menjadi cikal bakal keluarga Kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura ini dikisahkan bukan merupakan keturunan manusia biasa. Keduanya muncul dari dua kejadian misterius yang kemudian secara turun temurun terpelihara menjadi legenda masyarakat Kutai.

Legenda rakyat tersebut mengisahkan bayi Aji Batara Agung Dewa Sakti muncul tiba-tiba di depan rumah seorang pembesar masyarakat Jaitan Layar. Bayi tersebut terbaring di atas Batu Raga Mas dengan tangan kanan menggenggam sebutir telur ayam dan tangan kirinya menggenggam keris emas. Dikisahkan bahwa tujuh dewa turun dan memberikan petunjuk pada sang pembesar bahwa anak tersebut berasal dari khayangan dan harus dibesarkan dengan cara yang berbeda dengan anak manusia biasa.

Sang permaisuri dikisahkan juga muncul secara misterius dari dasar Sungai Mahakam. Bayinya terbaring di atas sebuah gong yang dijunjung oleh seekor naga yang muncul dari pusaran air. Naga tersebut kemudian mengantarkan Putri Karang Melenu ke hadapan seorang petinggi Hulu Dusun yang telah membesarkan sang naga. Sang pembesar kemudian menjadi orangtua angkat yang membesarkan sang putri hingga dewasa.

Naga dalam upacara mengulur naga merepresentasikan makhluk legendaris dalam legenda Putri Karang Melenu tersebut. Naga replika tersebut memiliki panjang kurang lebih 31,5 meter, dengan kepala dan ekor yang terbuat dari kayu. Badan naga terbuat dari rangka rotan dan bambu yang dibungkus kain berwarna kuning, dihiasi kain perca warna-warni sebagai sisiknya. Kedua naga dibuat sebelum Festival Erau berlangsung dan disemayamkan di kedua sayap bangunan Keraton Kutai (Gedung Museum Mulawarman).

Dalam ritual ini, kedua replika naga, yaitu Naga Bini dan Naga Laki, dibawa dari Keraton Kutai menuju Kutai Lama untuk dilemparkan ke sungai. Sepanjang perjalanan, kapal yang membawa replika naga ini akan singgah di sejumlah tempat untuk memberi kesempatan pada dewa (wanita pengabdi ritual) dan belian (pria pengabdi ritual) untuk melakukan ritual berkomunikasi (memang) dengan dunia gaib. Sesampainya di Jaitan Layar, Kutai Lama, kapal akan berputar sebanyak tujuh kali sebelum akhirnya merapat ke tepian.

Saat itulah bagian kepala dan ekor naga dipisahkan dari badannya. Bagian kepala dan ekor dibawa kembali ke Keraton untuk Festival Erau di tahun-tahun berikutnya, sedangkan bagian tubuh naga diturunkan (dilaboh) dari atas kapal ke sungai. Masyarakat akan berlomba-lomba mendapatkan bagian sisik dari naga yang dipercaya memiliki kekuatan untuk mewujudkan harapan pemiliknya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TANAMAN DAUN KOKANG BERKHASIAT SEBAGAI OBAT JERAWAT

TINJAUAN TERHADAP PENGOLAHAN SAMPAH DI KOTA SAMARINDA

KENAPA MASIH SERING TERJADI RESISTENSI ANTIBIOTIK ?